Born Again ( first )




Namanya Kim Taeyeon, manusia yang punya banyak kelebihan tapi kekurangan rasa percaya diri.

Berteman denganku sejak SMP dan sekarang menjadi karyawan di cafe yang ku kelola. Pribadi yang ceria dan tertutup secara bersamaan. Bersama dengannya akan bisa membuatmu tertawa terus menerus, tapi kau tidak akan pernah bisa memahami seperti apa isi kepalanya disaat terdiam begitu lama.  Taeyeon bisa membaur dengan cepat dimana saja, tapi tidak memiliki banyak teman. Kadang ia terlihat seperti jiwa yang sedang kesepian, dan aku benci sekali melihatnya seperti itu. Alasan kami masih bersama sebagai teman mungkin karena aku selalu menempel padanya, menanyakan kabarnya yang berakhir dijawab dengan seadanya. 

" Aku tidak apa-apa, " Taeyeon berjalan ke arahku yang sedang merebahkan diri diatas ranjangnya. Akhirnya dia tidak terus-terusan duduk meringkuk di lantai.

" Jadi kumohon, jangan terlalu khawatir. Setidaknya basuhlah dulu wajahmu dan gunakan pakaian yang normal." Taeyeon meletakkan kepalanya di pangkuanku seperti anak kecil yang minta dibacakan dongeng oleh ibunya. 

Dia tertawa kecil ketika memandangi wajahku yang masih tertutupi masker berwarna hijau pekat. Harusnya aku marah karena dijadikan bahan ledekan setelah semua kesulitan  yang harus kulalui agar bisa sampai ke apartemen miliknya sekarang. Tapi tidak akan kulakukan. Saat ini, aku hanya ingin melihatnya terus tertawa bahagia dan melupakan duka dari patah hati yang katanya terlalu sulit untuk dia lalui sendiri.

Aku menundukkan wajah, ketika merasakan tangannya memeluk erat pinggangku. "Terima kasih." Katanya. 
Selepas mendengarnya, tanpa ada yang meminta, menyuruh, atau memaksa. Aku tersenyum, dengan setulus hati.

Mata kami saling bertemu, tak ada yang berbicara tapi aku tahu isi kepala kami saling riuh. Penuh dengan ingatan masa lalu, penuh dengan pertanyaan yang belum sempat tersampaikan, dan percakapan yang belum pernah dimulai untuk dibicarakan. 

" Selama tiga tahun berada di LA,  apa saja yang kau lakukan?" Kini Taeyeon bertanya.

Aku terdiam sesaat. Mengingat kembali aku yang sempat memutuskan kembali ke LA karena tidak tahan melihat Taeyeon yang hari ke hari semakin mesra dengan Jessica, rasanya ingin marah tapi tidak tahu harus ku lampiaskan ke siapa. Aku yang terlalu takut untuk mengungkapkan perasaanku pada Taeyeon, karena kupikir rasanya tidak wajar. Lalu kupendam begitu lama, sampai akhirnya aku tahu dia tidak mempermasalahkan hal yang seperti itu. Cinta tidak mengenal batasan, katanya waktu itu. Andai aku memberitahunya lebih cepat, mungkin aku yang akan bersama dengannya. Aku akan yang akan tinggal bersama dengannya, melihat wajah bangun tidurnya dan menjadi teman ceritanya sebelum pergi tidur. Aku juga tidak harus mengencani banyak pria sebagai pelarian, dan tidak perlu melarikan diri ke LA akibat terbakar api cemburu.

" Aku mengambil kelas bisnis dan sedikit belajar tentang bakery."  Aku menjawab dengan jujur, aku memang melakukan semua itu. Menyibukkan diri agar tidak tergoda untuk memikirkan Taeyeon atau berniat menelponnya.

" Kau pasti belajar sangat giat, sampai lupa menghubungiku."  Ucapnya.

"Kupikir kau tidak terlalu suka dihubungi."

"Memang. Tapi entahlah, rasanya aku merindukanmu waktu itu."

" Lalu, kenapa tidak kau saja yang menelponku lebih dulu?!" Aku bertanya dengan tak sabar. Jika saja dia tahu aku hampir mati karena menahan rindu untuknya. Jika saja dia tahu aku selalu memandangi room chat milikku dengannya. Seperti orang bodoh yang mengharapkan ada pesan atau telpon yang masuk tapi tidak ada. 

"Kupikir kau sudah melupakan aku." Taeyeon berujar lirih. Ada perasaan bersalah yang menggelayuti hatiku setelah mendengarnya mengatakan hal menyedihkan itu. "Selama ini orang hanya mendatangiku ketika mereka memerlukan sesuatu dan pergi begitu saja ketika urusannya sudah selesai. Aku kira kau sudah tidak memerlukan aku lagi, kemudian melupakanku."

"Aku tidak seperti itu." Aku membelai kepala Taeyeon. Menyusupkan jari jariku diantara helai rambut miliknya. 

Pada akhirnya aku kembali ke sini, sebab rasa cemburu yang kumiliki tidak lebih besar dari keinginanku melihat wajah Taeyeon secara nyata dan utuh.

"Benar," Taeyeon menjentikkan jarinya. "Kau kembali lagi, mendirikan cafe, dan mengajak aku bekerja sama. Terima kasih untuk itu."

" Tidak perlu berterima kasih." Aku menggeleng. Karena sebetulnya aku tidak tulus, jadi aku merasa tidak pantas menerima ucapan terima kasih darinya. Tujuanku memang ingin berada di dekatnya, melihat wajahnya setiap hari tanpa harus dicurigai atau harus membuat alasan ini dan itu.

"Kadang aku bertanya-tanya apa alasanmu sebaik ini padaku?" Tanyanya.

"Karena aku menyukaimu."

Alisku terangkat, heran ketika melihatnya tertawa terbahak selepas aku menjawab begitu. Apa yang lucu? Batinku. 

" Bercandamu berlebihan." Katanya.

"Tapi itu benar." Sanggahku.

" Kalaupun benar, apa yang membuatmu menyukaiku? Aku biasa-biasa saja, tidak rupawan, tidak kaya, tidak keren, tidak terlalu baik juga karena aku sering meledekmu dulu dan sampai sekarang. Terakhir, kau tidak mungkin menyukai sesamamu karena selama ini selalu mengencani banyak pria dengan latar belakang yang begitu hebat."

Aku terdiam. Oh Tuhan, tampaknya tugasku tidak mudah untuk meyakinkan manusia yang sedang menjadi lawan bicaraku ini.

"Intinya terlalu mustahil kau menyukaiku, itu seratus persen, ah tidak! Itu seribu persen bahkan sepuluh ribu persen MUSTAHIL."

"Aku berkata jujur." 

"Tidak." Balasnya. "Aku tahu kau hanya ingin menghiburku setelah patah hati, tapi tidak perlu memaksakan diri sampai sebegitunya."

"Tapi, bagaimana kalau aku benar-benar menyukaimu?" Lagi, aku kembali berusaha meyakinkannya. Kuharap perasaanku tersampaikan dan berbalas malam ini.

"Tidak." Jawabnya lagi.

"Kenapa?" Dengan nada bicara merendah, aku bertanya.

" Seperti yang kukatakan barusan. Aku bukan siapa-siapa Tiffany. Latar belakang kita berbeda, tidak ada yang spesial dariku pula. Kelak jika kita bersama pun, aku pasti akan dengan mudah tergantikan. " Taeyeon beranjak dari pangkuanku. 

" Sekali lagi, jangan terlalu mengasihaniku."
Kini ia merebahkan kepalanya di bantal, bersiap untuk tidur? Apa dia marah padaku? Entahlah.

Aku melihatnya mulai memejamkan mata. Aku? Tidak tahu apakah bisa tidur malam ini atau tidak. Rasanya sedih ketika sudah memberanikan diri untuk jujur tapi disalah pahami. Mungkin malam ini akan kuhabiskan untuk melihat wajah Taeyeon semalaman sambil memikirkan bagaimana caranya agar dia paham bahwa aku benar-benar menyukainya, mencintainya bahkan. Aku juga harus mengubah kebiasaan jeleknya yang terlalu sering merendahkan diri itu.

Ternyata datang dengan wajah masih berlumuran masker, piyama mencolok, dan kebut-kebutan di jalan pada tengah malam belum bisa meyakinkan ya? Aku kira sudah. Huh, sebal.



Comments

Post a Comment

Popular Posts